Wednesday, October 23, 2019

Pembajakan Buku


Pembajakan Buku

Salah Satu Bukti Masih Rendahnya Tingkat Apresiasi di Indonesia

 
            Buku merupakan salah satu sumber ilmu yang sudah ada sejak dulu. Orang membaca buku ketika merasa perlu dan membutuhkan sesuatu yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, atau sekedar hobi dan mencari hiburan. Sejarah perkembangan buku erat kaitannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan manusia itu sendiri. Dari sehelai kertas berisi tulisan yang ditumpuk jadi satu, dijilid dan dihias agar terlihat lebih rapi. Pada era modern ini, buku termasuk yang mendapatkan sentuhan teknologi terbarukan dalam pembuatannya. Ada pengarang yang menuangkan idenya, ada tim dari penerbitan yang memprosesnya. Secara sederhana memang demikian. Namun proses yang sesungguhnya  memerlukan waktu, tenaga dan biaya yang tidak sedikit. Proses yang dilalui inilah yang barangkali tidak semua orang tahu dan mau tahu untuk sekedar menambah wawasan.

            Bagi para pecintanya, buku tidak hanya sebuah benda dengan puluhan hingga ratusan helai kertas yang berisi untaian kalimat yang panjang dan terstruktur. Buku lebih dari itu. Sebuah ide atau karangan yang dibuat oleh manusia akan lebih cepat lupa  jika tidak segera dituangkan dalam bentuk catatan tertulis. Bukti tertulis akan lebih lama dikenang dibandingkan dengan lisan saja. Layaknya dongeng-dongeng rakyat yang tidak diketahui siapa penciptanya (anonim), berkembang begitu saja di masyarakat dari generasi ke generasi. Hal ini berhubungan pula dengan adanya hak cipta atau penemuan. Hak cipta untuk mencegah adanya plagiarisme dan pencurian ide lainnya yang dapat merugikan pencipta. Jika dulu pada masa-masa awal banyak ditemukannya berbagai alat untuk membantu pekerjaan manusia, ada lembaga atau intansi yang mengurus tentang hak paten. Mereka mencatat apa barang temuan dan siapa yang menemukan atau menciptakannya. Pada masa selanjutnya temuan tersebut bisa saja mendapat pengembangan dan peningkatan, supaya lebih baik lagi dan sesuai dengan perkembangan zaman.

            Buku dan hak cipta adalah bagian dari karya dan senimannya. Setiap karya ada karena ada penciptanya. Buah pikiran dan kerja keras manusia yang melalui proses panjang dan tidak mudah. Seorang penulis novel fiksi misal, bisa menulis cerita hingga bertahun-tahun lamanya. Dia bisa membongkar pasang cerita agar lebih baik dan sesuai keinginan. Menyesuaikan alur dan konflik agar dapat menggugah rasa penasaran pembaca. Namun yang lebih penting dari itu, ada makna yang hendak diselipkannya. Makna yang membuat pembaca tidak hanya terhibur setelah membaca, tapi juga mendapatkan pelajaran hidup yang baru yang bisa berguna baginya. Itulah sastra.
            Namun bagaimana jika kerja keras yang panjang itu disalahgunakan orang lain? Penulis yang telah bertahun-tahun mengerjakan novelnya itu, dikhianati oleh orang-orang yang mau terhibur dan mendapat keuntungan tapi dengan cara yang menyakitkan. Penulis mana, seniman mana, atau orang biasa mana yang tidak akan sakit hati dan meringis melihat hasil kerja kerasnya tidak dihargai oleh orang lain.

            Sebelum era digital muncul, para musisi biasanya menjual album karya mereka dalam bentuk Compact Disk (CD) atau DVD, dan dijual di toko musik di banyak tempat. Namun tidak semua orang mau membeli dan menikmati musik dengan cara tersebut. Muncullah CD bajakan, yang dari segi harga melenceng jauh dari harga resmi yang dibuat oleh perusahaan. Dengan dalih lebih merakyat dan lebih mudah didapat, orang banyak yang bertahan dan percaya diri dengan praktek pembajakan musik. Kini para musisi sudah lebih menyesuaikan dengan zaman, adanya berbagai platform digital untuk musik memungkinkan mereka menjual karyanya dengan aman karena lebih sulit dibajak dibandingkan dengan zaman CD tersebut. Tapi apakah semuanya selesai? Tentu saja belum. Blog dan situs di internet masih banyak yang menyediakan tautan-tautan untuk mendapatan file mp3 untuk musisi manapun.

            Bagaimana dengan buku? Benda yang awalnya saya kira tidak akan ada bajakannya. Sampai ketika tahun ketiga kuliah, saya mulai tahu bagaimana ciri fisik buku bajakan tersebut. Kusam, tidak terawat dan harganya murah. Misalnya saja sebuah buku referensi yang sudah banyak dipakai dari dulu. Oleh si penjual, buku bajakan itu dibanderol setengah dari harga aslinya. Sekilas ini sangat menggiurkan, apalagi untuk kelas mahasiswa yang seringkali kekurangan biaya. Tapi ketika sadar, ini adalah sebuah tindak kejahatan di depan mata. Bukti nyata sebuah tempat di mana kekayaan intelektual dicuri dan diperdagangkan secara ilegal. Penulis dan penerbit terkait tidak akan mendapat keuntungan sepeser pun berapa pun harga yang ditawarkan oleh tindakan ini.

            Jika dalih banyak penjual buku bajakan adalah karena langkanya sebuah buku, lantas mengapa buku yang baru terbit pun sudah ada bajakannya? Ini sudah tidak bisa ditolerir lagi mengingat seharusnya pembeli (apalagi kalangan akademis) sadar bahwa itu sudah lebih dari batas. Buku baru akan jauh lebih mudah didapat di toko-toko buku resmi, tidak usah tergiur mencari ke lapak-lapak buku bajakan. Jika hal ini benar-benar tidak dihiraukan, maka inti permasalahan ada pada diri para pelaku.

            Dengan adanya tindakan pembajakan, tanpa ada rasa bersalah dan mau berhenti, menunjukan adanya rasa menghargai atau apreasiasi yang sangat rendah. Sadar itu salah tapi tidak mau mengakui. Kesadaran ini penting sekali karena menjadi dasar penghargaan terhadap karya apapun. Para pelaku pembajakan tidak peduli dengan nasib penulis dan penerbit, karena yang mereka lakukan adalah memotong jalur perdagangan buku dengan memunculkan buku bajakan, dengan harga murah agar menggaet pembeli. Siapa yang tidak suka belanja murah? Namun dengan tergiurnya orang-orang tertentu pada produk bajakan tersebut, secara tidak sadar juga menunjukan seberapa murah dan rendahnya kesadaran terhadap mengapresiasi sebuah hasil karya.

            Masalah apresiasi tidak melulu harus identik dengan orang-orang dari kalangan akademis atau kalangan tertentu, namun seharusnya ada pada nurani setiap manusia. Itu adalah salah satu dasar kehidupan kita dalam menyikapi atau ingin menilai sebuah hasil karya manusia lainnya. Dengan tidak adanya kepedulian akan kerja keras orang lain, maka tidak ada pula rasa empati untuk menilai lebih jauh. Mereka acuh asal kantong tebal, perut kenyang dan hati senang.

            Hukum dan undang-undang tentang pembajakan sudah ada, tinggal bagaimana menciptakan kesadaran moral akan pentingnya apresiasi akan karya. Jika dasar kesadaran moral sudah ada, maka tidak akan ada celah untuk kejahatan intelektual lainnya. Ironisnya adalah pembajakan buku tersebut termasuk buku-buku sumber ilmu pengetahuan. Bagaimana bisa seseorang merasa nyaman belajar dengan menggunakan sumber buku bajakan. Apakah ilmunya akan barokah? Apakah tidak ada ketakutan jika setelah sungguh-sungguh menimba ilmu, namun kelak mizan di akhiratnya akan terpengaruh karena pernah menggunakan sesuatu dari tindak kejahatan?

            Upaya yang dilakukan oleh berbagai penerbit besar di Indonesia misalnya saja Mizan, adalah dengan menerbitkan buku digital. Pembaca dapat membelinya dan membaca e-book tersebut di perangkat smartphone atau lainnya. Ini menjadi varian terbaru juga dalam membaca buku. Lebih praktis dan mudah dibawa ke mana-mana serta bisa menampung berbagai judul hanya dalam satu perangkat ponsel saja. Hal ini tentu saja menjadi sebuah kemajuan dan upaya yang baik untuk mengurangi tindakan pembajakan.

Namun sebanyak apapun upaya berbagai pihak melawan pembajakan, akan sia-sia saja jika masih ada pembeli yang mencari buku bajakan. Selalu ada saja oknum-oknum perusak yang mencari celah sekecil apapun untuk memanfaatkan keadaan. Karena inti dari permasalahan terhadap hak cipta adalah kesadaran mengapresiasi karya itu sendiri. Bagaimana dokter bisa menyembuhkan pasien jika pasien itu sendiri tidak mau berobat? Sekali lagi harus ada kesadaran akan apreasiasi, menghargai dan menghormati karya orang lain.

Jadi pembaca tinggal memilih, apakah mau menjadi pembaca yang baik yang mengapreasiasi penulis dengan cara membeli karya yang asli, atau menjadi pembaca yang mencari buku bajakan dengan harga murah? Ingatlah ada harga ada kualitas. Ingatlah untuk menghargai kerja keras orang lain, dan ingatlah bagaimana jika kita yang mengalami hal tersebut.

No comments:

Post a Comment