Pembajakan Buku
Salah Satu Bukti Masih Rendahnya Tingkat Apresiasi di Indonesia
Buku merupakan
salah satu sumber ilmu yang sudah ada sejak dulu. Orang membaca buku ketika
merasa perlu dan membutuhkan sesuatu yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan,
atau sekedar hobi dan mencari hiburan. Sejarah perkembangan buku erat kaitannya
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan manusia itu sendiri. Dari sehelai
kertas berisi tulisan yang ditumpuk jadi satu, dijilid dan dihias agar terlihat
lebih rapi. Pada era modern ini, buku termasuk yang mendapatkan sentuhan
teknologi terbarukan dalam pembuatannya. Ada pengarang yang menuangkan idenya,
ada tim dari penerbitan yang memprosesnya. Secara sederhana memang demikian.
Namun proses yang sesungguhnya memerlukan waktu, tenaga dan biaya yang tidak
sedikit. Proses yang dilalui inilah yang barangkali tidak semua orang tahu dan
mau tahu untuk sekedar menambah wawasan.
Bagi para
pecintanya, buku tidak hanya sebuah benda dengan puluhan hingga ratusan helai kertas
yang berisi untaian kalimat yang panjang dan terstruktur. Buku lebih dari itu.
Sebuah ide atau karangan yang dibuat oleh manusia akan lebih cepat lupa jika tidak segera dituangkan dalam bentuk
catatan tertulis. Bukti tertulis akan lebih lama dikenang dibandingkan dengan lisan
saja. Layaknya dongeng-dongeng rakyat yang tidak diketahui siapa penciptanya
(anonim), berkembang begitu saja di masyarakat dari generasi ke generasi. Hal
ini berhubungan pula dengan adanya hak cipta atau penemuan. Hak cipta untuk
mencegah adanya plagiarisme dan pencurian ide lainnya yang dapat merugikan
pencipta. Jika dulu pada masa-masa awal banyak ditemukannya berbagai alat untuk
membantu pekerjaan manusia, ada lembaga atau intansi yang mengurus tentang hak
paten. Mereka mencatat apa barang temuan dan siapa yang menemukan atau
menciptakannya. Pada masa selanjutnya temuan tersebut bisa saja mendapat
pengembangan dan peningkatan, supaya lebih baik lagi dan sesuai dengan
perkembangan zaman.
Buku dan hak cipta
adalah bagian dari karya dan senimannya. Setiap karya ada karena ada
penciptanya. Buah pikiran dan kerja keras manusia yang melalui proses panjang
dan tidak mudah. Seorang penulis novel fiksi misal, bisa menulis cerita hingga
bertahun-tahun lamanya. Dia bisa membongkar pasang cerita agar lebih baik dan
sesuai keinginan. Menyesuaikan alur dan konflik agar dapat menggugah rasa
penasaran pembaca. Namun yang lebih penting dari itu, ada makna yang hendak
diselipkannya. Makna yang membuat pembaca tidak hanya terhibur setelah membaca,
tapi juga mendapatkan pelajaran hidup yang baru yang bisa berguna baginya.
Itulah sastra.
Namun bagaimana
jika kerja keras yang panjang itu disalahgunakan orang lain? Penulis yang telah
bertahun-tahun mengerjakan novelnya itu, dikhianati oleh orang-orang yang mau
terhibur dan mendapat keuntungan tapi dengan cara yang menyakitkan. Penulis
mana, seniman mana, atau orang biasa mana yang tidak akan sakit hati dan
meringis melihat hasil kerja kerasnya tidak dihargai oleh orang lain.
Sebelum era
digital muncul, para musisi biasanya menjual album karya mereka dalam bentuk Compact
Disk (CD) atau DVD, dan dijual di toko musik di banyak tempat. Namun tidak
semua orang mau membeli dan menikmati musik dengan cara tersebut. Muncullah CD
bajakan, yang dari segi harga melenceng jauh dari harga resmi yang dibuat oleh perusahaan.
Dengan dalih lebih merakyat dan lebih mudah didapat, orang banyak yang bertahan
dan percaya diri dengan praktek pembajakan musik. Kini para musisi sudah lebih
menyesuaikan dengan zaman, adanya berbagai platform digital untuk musik
memungkinkan mereka menjual karyanya dengan aman karena lebih sulit dibajak
dibandingkan dengan zaman CD tersebut. Tapi apakah semuanya selesai? Tentu saja
belum. Blog dan situs di internet masih banyak yang menyediakan tautan-tautan
untuk mendapatan file mp3 untuk musisi manapun.
Bagaimana dengan
buku? Benda yang awalnya saya kira tidak akan ada bajakannya. Sampai ketika tahun
ketiga kuliah, saya mulai tahu bagaimana ciri fisik buku bajakan tersebut. Kusam,
tidak terawat dan harganya murah. Misalnya saja sebuah buku referensi yang
sudah banyak dipakai dari dulu. Oleh si penjual, buku bajakan itu dibanderol
setengah dari harga aslinya. Sekilas ini sangat menggiurkan, apalagi untuk
kelas mahasiswa yang seringkali kekurangan biaya. Tapi ketika sadar, ini adalah
sebuah tindak kejahatan di depan mata. Bukti nyata sebuah tempat di mana
kekayaan intelektual dicuri dan diperdagangkan secara ilegal. Penulis dan
penerbit terkait tidak akan mendapat keuntungan sepeser pun berapa pun harga
yang ditawarkan oleh tindakan ini.
Jika dalih banyak
penjual buku bajakan adalah karena langkanya sebuah buku, lantas mengapa buku
yang baru terbit pun sudah ada bajakannya? Ini sudah tidak bisa ditolerir lagi
mengingat seharusnya pembeli (apalagi kalangan akademis) sadar bahwa itu sudah
lebih dari batas. Buku baru akan jauh lebih mudah didapat di toko-toko buku
resmi, tidak usah tergiur mencari ke lapak-lapak buku bajakan. Jika hal ini
benar-benar tidak dihiraukan, maka inti permasalahan ada pada diri para pelaku.
Dengan adanya
tindakan pembajakan, tanpa ada rasa bersalah dan mau berhenti, menunjukan
adanya rasa menghargai atau apreasiasi yang sangat rendah. Sadar itu salah tapi
tidak mau mengakui. Kesadaran ini penting sekali karena menjadi dasar
penghargaan terhadap karya apapun. Para pelaku pembajakan tidak peduli dengan
nasib penulis dan penerbit, karena yang mereka lakukan adalah memotong jalur
perdagangan buku dengan memunculkan buku bajakan, dengan harga murah agar
menggaet pembeli. Siapa yang tidak suka belanja murah? Namun dengan tergiurnya
orang-orang tertentu pada produk bajakan tersebut, secara tidak sadar juga
menunjukan seberapa murah dan rendahnya kesadaran terhadap mengapresiasi sebuah
hasil karya.
Masalah apresiasi
tidak melulu harus identik dengan orang-orang dari kalangan akademis atau
kalangan tertentu, namun seharusnya ada pada nurani setiap manusia. Itu adalah
salah satu dasar kehidupan kita dalam menyikapi atau ingin menilai sebuah hasil
karya manusia lainnya. Dengan tidak adanya kepedulian akan kerja keras orang
lain, maka tidak ada pula rasa empati untuk menilai lebih jauh. Mereka acuh
asal kantong tebal, perut kenyang dan hati senang.
Hukum dan
undang-undang tentang pembajakan sudah ada, tinggal bagaimana menciptakan
kesadaran moral akan pentingnya apresiasi akan karya. Jika dasar kesadaran
moral sudah ada, maka tidak akan ada celah untuk kejahatan intelektual lainnya.
Ironisnya adalah pembajakan buku tersebut termasuk buku-buku sumber ilmu
pengetahuan. Bagaimana bisa seseorang merasa nyaman belajar dengan menggunakan
sumber buku bajakan. Apakah ilmunya akan barokah? Apakah tidak ada ketakutan
jika setelah sungguh-sungguh menimba ilmu, namun kelak mizan di akhiratnya akan
terpengaruh karena pernah menggunakan sesuatu dari tindak kejahatan?
Upaya yang
dilakukan oleh berbagai penerbit besar di Indonesia misalnya saja Mizan, adalah
dengan menerbitkan buku digital. Pembaca dapat membelinya dan membaca e-book
tersebut di perangkat smartphone atau lainnya. Ini menjadi varian
terbaru juga dalam membaca buku. Lebih praktis dan mudah dibawa ke mana-mana
serta bisa menampung berbagai judul hanya dalam satu perangkat ponsel saja. Hal
ini tentu saja menjadi sebuah kemajuan dan upaya yang baik untuk mengurangi
tindakan pembajakan.
Namun sebanyak
apapun upaya berbagai pihak melawan pembajakan, akan sia-sia saja jika masih
ada pembeli yang mencari buku bajakan. Selalu ada saja oknum-oknum perusak yang
mencari celah sekecil apapun untuk memanfaatkan keadaan. Karena inti dari
permasalahan terhadap hak cipta adalah kesadaran mengapresiasi karya itu
sendiri. Bagaimana dokter bisa menyembuhkan pasien jika pasien itu sendiri
tidak mau berobat? Sekali lagi harus ada kesadaran akan apreasiasi, menghargai
dan menghormati karya orang lain.
Jadi pembaca
tinggal memilih, apakah mau menjadi pembaca yang baik yang mengapreasiasi
penulis dengan cara membeli karya yang asli, atau menjadi pembaca yang mencari
buku bajakan dengan harga murah? Ingatlah ada harga ada kualitas. Ingatlah
untuk menghargai kerja keras orang lain, dan ingatlah bagaimana jika kita yang
mengalami hal tersebut.
No comments:
Post a Comment