Tuesday, April 2, 2019

Agnes Grey karya Anne Brontë


Agnes Grey karya Anne Brontë
Realita Sederhana Inggris Abad ke-18


Dari sekian banyak karya sastra Inggris yang pernah saya baca, sejauh ini meninggalkan kesan yang sama yakni budaya mereka. Saya mengawali membaca sastra Inggris  dengan Sherlock Holmes karya Sir Arthur Conan Doyle yang sangat lekat dengan zaman Ratu Victoria (di dalam salah satu ceritanya pun ada yang secara langsung menyebutkan Victoria Rennaisance). Gaya hidup mereka seperti minum teh, lalu penggambaran kota London, serta perubahan cuaca dan kesenangan sebagian kaum bangsawan. Hal ini pulalah yang akhirnya saya rasakan kembali ketika membaca Agnes Grey.

Setelah beberapa waktu dari terakhir kali saya membaca karya sastra Inggris, ini adalah buku selanjutnya yang kembali mengingatkan saya akan tanah Britania Raya yang selalu diidam-idamkan untuk bisa dikunjungi. Bukan menunda-nunda untuk membaca, tetapi saya baru memiliki bukunya sekarang, yang saya beli setelah nitip sama Editornya, Teh Dyah Agustine (terima kasih sekali!).

Seperti yang sering saya baca pada buku-buku teori sastra, bahwa mungkin pengalaman membaca suatu karya sastra dari berbagai negara, tidak akan sepenuhnya mewakili kita untuk merasa pernah berkunjung ke sana. Ya, tentu saja. Karena imajinasi kitalah yang berkelana di saat raga kita duduk dengan punggung melengkung sambil ditemani hangatnya kopi dan kudapan sederhana. Namun bagi saya, membaca selalu memberikan kepuasan dari suatu hal yang mungkin masih di luar jangkauan saya saat itu. Karena setidaknya, dengan kita membaca suatu buku yang menggambarkan dengan jelas keadaan geografis di dalamnya, kita ikut merasakan bagaimana suasananya. Sengatan sinar matahari atau kedinginan yang menusuk pada musim salju. Semua tergantung pada daya imajinasi dan seberapa dalam kita menyelami isi cerita.

Agnes Grey adalah cara Anne Brontë mewakilkan perasaan dan pemikirannya dari pengalaman yang telah ia dapatkan. Anne adalah bungsu dan begitu pun juga Agnes. Kesamaan ini membuat kita merasa bahwa ini benar-benar berdasarkan pengalaman hidup sang penulis sendiri. Mungkin sebagian penulis juga demikian. Mengawali karyanya dengan pengalaman hidupnya sendiri. Anne dengan sangat piawai, sabar dan tekun, mengawali ceritanya dengan tidak muluk-muluk dan basa-basi tidak penting untuk menuturkan kehidupan awal keluarga Agnes. Berlatar keluarga yang dipimpin oleh seorang Pendeta dan istri yang rela hidup sederhana asal dengan cinta sejatinya. Rela meninggalkan kekayaan ayahnya yang melimpah karena uang bukan segalanya. Dari awal penceritaan ini, pembaca sudah disuguhkan oleh prinsip ketetapan hati yang berani dan tangguh. Hal ini pulalah yang menurut saya menginspirasi sosok Agnes untuk kemudian berani mengambil keputusan berani untuk bekerja. Sebaliknya, sang ayah, adalah sosok yang rapuh. Sebagai laki-laki, ayah, suami dan kepala keluarga, ia tidak cukup kuat menghadapi cobaan hidup yang disebabkan oleh keputusannya sendiri. Namun mungkin karena rasa bersalah yang dalam pulalah ia menjadi sedemikian jatuhnya. Ini bisa kita pahami asalkan tetap objektif dan bijaksana.

Melihat keterpurukan keluarganya, Agnes tergugah untuk ikut andil dalam mengatasi keadaan keluarganya. Ia merasa tidak punya keahlian seperti kakaknya, Mary, yang bisa dikerjakan dan menghasilkan uang. Hal yang kemudian terbersit adalah bahwa  ia bisa menjadi pengasuh anak. Pada awalnya ia ditentang oleh keluarganya. Mereka menginginkan kebersamaan di atas segalanya. Namun Agnes bersikeras ingin pergi bekerja karena kalaupun ia di rumah, ia takkan bisa ikut mengurangi beban utang mereka. Akhirnya, keluarganya pun mengizinkan dan atas rekomendasi ibunya, ia dapat bekerja menjadi pengasuh anak di rumah salah satu kerabat mereka yang kaya. Agnes bertekad melakukannya dengan baik walaupun dengan upah yang minim.

Kehidupan yang dijalani Agnes selama menjadi pengasuh anak di keluarga Mr. Bloomfield sangatlah menyedihkan. Ia tidak dianggap sebagai bagian dari keluarga yang sama-sama harus dihargai dengan diperlakukan secara layak. Ditambah lagi anak-anak mereka yang manja dan arogan. Hal ini menunjukan adanya pendidikan keliru yang diterapkan keluarga itu untuk anak-anak mereka. Agnes merasa bahwa perangai anak-anak ini  liar dan dibiarkan begitu saja asal demi kesenangan. Hal-hal kejam seperti membunuh binatang pun mereka lakukan tanpa belas kasihan sama sekali. Seringkali ketika menegur hal ini, malah Agneslah yang kena masalah dan omelan, membuatnya terheran-heran. Hal yang bisa Agnes lakukan adalah berdiam diri untuk tidak masuk dalam perdebatan yang dapat mengancam pekerjaannya dan menangis di kamarnya pada malam hari. Agnes bertanya-tanya bagaimana bisa mereka membiarkan anak-anak mereka menjadi demikian nakal dan liarnya. Ia merasa pendidikan di keluarga yang ia dapatkan sudah sangat tepat dan menjadikan ia dan kakaknya sebagai anak yang baik. 

Jika kita telaah dari segi pendidikan anak, ini tentu suatu gambaran tentang kekelirun yang cukup fatal. Anne sendiri menuliskan tujuan pendidikannya seperti berikut ini.
"... bagaimana membangkitkan penyesalan atas kesalahan, bagaimana menanamkan keberanian kepada murid pemalu dan menghibur yang menderita, bagaimana membuat kebajikan dapat dipraktikkan, instruksi diminati, dan agama menjadi sesuatu yang indah dan dapat dipahami." (hlm. 20).
Di setiap renungannya, Agnes selalu mempertanyakan kekeliruan ini dan berusaha memperbaikinya lewat pelajaran-pelajaran yang ia berikan setiap hari. Mungkin tidak ada yang salah jika anak-anak memang lebih menyukai permainan ketimbang belajar, baik itu berhitung, membaca, menggambar dan bermain musik. Namun kesalahan terletak pada bagaimana hal itu diatur dan diselenggarakan. Hal ini pulalah yang seringkali membangkitkan rasa rindu pada keluarganya, dan bersyukur atas didikan orang tuanya yang selalu berlandaskan pada kesederhanaan, keimanan kepada Tuhan, dan kebijaksanaan.

Setelah akhirnya berhenti bekerja di rumah keluarga Mr. Bloomfield, Agnes menikmati masa-masa kembalinya ke rumah dan lingkungan sekitarnya. Namun keinginannya untuk mencoba lagi tidak padam, malah lebih tertantang. Ia tidak kapok dan merasa menyesal. Tempat lain selanjutnya adalah rumah keluarga Mr. Murray. Di sinilah cerita yang lebih panjang dituturkan Agnes dengan lebih santai dan tidak semengerikan sebelumnya. Di tempat itu pulalah Agnes jatuh cinta. Mr. Murray sendiri adalah kalangan bangsawan di sana, dan sedikit lebih tinggi dibandingkan Mr. Bloomfield. Agnes berpikir bahwa perbedaan tingkat ini akan berpengaruh pada perlakuan yang akan ia dapatkan. 
"Orang-orang semacam ini akan memperlakukan pengasuhnya layaknya wanita terhormat dan terpelajar, instruktur dan pembimbing anak-anaknya, dan bukannya pelayan dengan kedudukan lebih tinggi semata." (hlm. )

Anak-anak yang harus ia didik di keluarga itu sedikit lebih besar dari sebelumnya. Salah satu di antara mereka sangat genit dan bermimpi ingin memiliki suami yang kaya dan bisa memanjakannya. Bagi Agnes yang terbiasa dengan hidup sederhana dan pikiran yang lebih terbuka, menilai laki-laki bukanlah dari segi harta atau tampangnya saja. Melainkan hati yang bersih dan sikap bertanggung jawab. Salah seorang pendeta di sana nampaknya mulai menarik perhatian Agnes. Awalnya ia merasa aneh karena terus memikirkan laki-laki itu. Pelan-pelan, rasa itu berubah menjadi kepedulian dan rasa sayang yang tak dapat ditahan. Harapan-harapan kecil mulai tumbuh di hatinya dan ia menjadi lebih mengharapkan lebih banyak pertemuan. Namun gadis bernama Rosalie itu kemudian menjadi ancaman dan penghalangan. Jiwanya yang dirasuki kejahilan terus mengusik Agnes agar tidak bisa bertemu dengan pria itu. Pembaca akan gereget karena berharap Agnes bisa mendapatkan sedikit kebahagiaan lewat jatuh cinta. Anak-anak keluarga Mr. Murray mungkin memang tidak senakal anak-anak Mr. Bloomfield, namun perkara lain ternyata tetap saja menyulitkan. 

Ketika keadaan semakin mendesaknya, kabar buruk datang dari keluarganya tentang sang ayah. Nyawanya tidak tertolong ketika Agnes baru sampai di rumah setelah perjalanan panjang yang melelahkan. Kini mereka hanya tinggal bertiga. Cobaan lain datang karena kepergian Sang Ayah. Agnes akhirnya memutuskan untuk berhenti bekerja di keluarga Mr. Murray dan membangun sekolah sederhana dengan ibunya. Kakaknya sendiri, Mary, sudah menikah, dan ia menjadi tak terlalu menghawatirkan ibunya karena ada Agnes. Ketika waktu-waktu perpisahan itu tiba, Agnes merasa ada perasaan yang mengganjal. Ia sadar bahwa ia tidak akan bisa bertemu dengan pria itu lagi karena Agnes kemudian pindah ke daerah lain bersama Ibunya.

Waktu-waktu yang dijalani Agnes dengan Ibunya berjalan baik dan patut disyukuri. Di sela-sela setiap waktunya, Agnes selalu berharap bisa bertemu kembali dengan pria itu. Baginya hanya Tuhan yang dapat melakukan itu untuknya. Setelah menjalani hidup yang menderita untuk sekian lama, ia hanya ingin mimipinya menjadi nyata, yaitu bisa bersama dengan pria itu. Ketika pertemuan itu akhirnya datang, Agnes hanya bisa berucap syukur kepada Tuhan. Bahwa perjuangannya selama ini membuahkan hasil yang sempurna dengan kehadiran cinta sejati di hidupnya. Pembaca akhirnya bisa tersenyum lega melihat akhir kisah yang bahagia ini pada buku setebal 294 halaman ini. 

Pelajaran yang bisa kita petik sangat banyak. Bahkan bukan hanya memetik sedikit, tapi kita juga bisa sekalian panen. Sastra klasik memang punya keunggulan akan kekhasan dan detail penceritaan yang baik. Kadang belum apa-apa saya sudah merasa jenuh dengan deskripsi yang terlalu bertele-tele pada awal cerita. Namun, selain dari jangan menilai buku hanya dari sampulnya, kita juga jangan menilai cerita dari awalnya saja. Ibarat mencicipi makanan berkuah, jangan hanya melihat tampilannya saja, ataupun kuahnya saja. Bisa jadi ketika kemudian kita mencicipi lauknya, kombinasi rasa yang luar biasa akan meledak di mulut kita. 

Sebuah kisah tentang kesederhanaan, ketulusan, kegigihan dan kesabaran yang luar biasa dari sosok Agnes Grey. Meskipun saya sendiri merasa tertangkap basah karena sempat jenuh di awal lewat kalimat ini.
"Orang yang tidak berminat dalam hal-hal seperti ini, tidak diragukan lagi akan melewatkannya dengan pandangan sekilas saja, dan barangkali, mengumpat kata-kata penulis yang bertele-tele. Tetapi jika ada orang tua yang memetik petunjuk berguna dari tulisan ini, atau pengasuh malang yang mendapatkan manfaat walau sedikit saja, aku merasa mendapatkan imbalan setimpal untuk penderitaan yang kualami." (hlm. 55)
Yang kemudian melecut semangat saya untuk bisa lebih menghargai karya ini dengan sukacita. Membacanya dengan tenang dan pikiran terbuka.

Saya pun berharap Anda yang belum membaca karya ini, bisa ikut terinspirasi dan menghargai bahkan sebelum Anda mulai membacanya.

Selamat membaca!
Judul Novel                 : Agnes Grey
Penulis                         : Anne Brontë
Genre                           : Fiksi Inggris
Penerbit                       : Penerbit Qanita
Terbit                           : Cetakan I, Desember 2016
Tebal                            : 294 halaman


2 comments:

  1. Sebagai komentator pertama, saya ingin menuntut balas dengan membaca buku ini, tulisan blog ini sangat rapi dan ringan untuk dibaca, hatur nuhun telah membagikan pengalaman membaca yg sngat mengagumkan. Mantaaap ceuceu... keep writing, I always proud of your act!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Weheeee.. Bapa Agung! Hatur nuhun juga atas apresiasinya. In sha Allah konsisten hehe. Diajar mah kumaha we nya asal sabar dan terus berjalan. Hatur nuhun, hatur nuhun pisan!

      Delete