Agnes Grey karya Anne Brontë
Realita Sederhana Inggris Abad
ke-18
Dari sekian banyak karya
sastra Inggris yang pernah saya baca, sejauh ini meninggalkan kesan yang sama
yakni budaya mereka. Saya mengawali membaca sastra Inggris dengan Sherlock Holmes karya Sir Arthur Conan
Doyle yang sangat lekat dengan zaman Ratu Victoria (di dalam salah satu ceritanya
pun ada yang secara langsung menyebutkan Victoria Rennaisance). Gaya
hidup mereka seperti minum teh, lalu penggambaran kota London, serta perubahan
cuaca dan kesenangan sebagian kaum bangsawan. Hal ini pulalah yang akhirnya
saya rasakan kembali ketika membaca Agnes Grey.
Setelah beberapa waktu dari
terakhir kali saya membaca karya sastra Inggris, ini adalah buku selanjutnya
yang kembali mengingatkan saya akan tanah Britania Raya yang selalu
diidam-idamkan untuk bisa dikunjungi. Bukan menunda-nunda untuk membaca, tetapi
saya baru memiliki bukunya sekarang, yang saya beli setelah nitip sama
Editornya, Teh Dyah Agustine (terima kasih sekali!).
Seperti yang sering saya baca
pada buku-buku teori sastra, bahwa mungkin pengalaman membaca suatu karya
sastra dari berbagai negara, tidak akan sepenuhnya mewakili kita untuk merasa
pernah berkunjung ke sana. Ya, tentu saja. Karena imajinasi kitalah yang
berkelana di saat raga kita duduk dengan punggung melengkung sambil ditemani
hangatnya kopi dan kudapan sederhana. Namun bagi saya, membaca selalu
memberikan kepuasan dari suatu hal yang mungkin masih di luar jangkauan saya
saat itu. Karena setidaknya, dengan kita membaca suatu buku yang menggambarkan
dengan jelas keadaan geografis di dalamnya, kita ikut merasakan bagaimana
suasananya. Sengatan sinar matahari atau kedinginan yang menusuk pada musim
salju. Semua tergantung pada daya imajinasi dan seberapa dalam kita menyelami
isi cerita.
Agnes Grey adalah cara Anne
Brontë mewakilkan perasaan dan pemikirannya dari pengalaman yang telah ia
dapatkan. Anne adalah bungsu dan begitu pun juga Agnes. Kesamaan ini membuat
kita merasa bahwa ini benar-benar berdasarkan pengalaman hidup sang penulis
sendiri. Mungkin sebagian penulis juga demikian. Mengawali karyanya dengan
pengalaman hidupnya sendiri. Anne dengan sangat piawai, sabar dan tekun,
mengawali ceritanya dengan tidak muluk-muluk dan basa-basi tidak penting untuk
menuturkan kehidupan awal keluarga Agnes. Berlatar keluarga yang dipimpin oleh
seorang Pendeta dan istri yang rela hidup sederhana asal dengan cinta
sejatinya. Rela meninggalkan kekayaan ayahnya yang melimpah karena uang bukan
segalanya. Dari awal penceritaan ini, pembaca sudah disuguhkan oleh prinsip
ketetapan hati yang berani dan tangguh. Hal ini pulalah yang menurut saya
menginspirasi sosok Agnes untuk kemudian berani mengambil keputusan berani
untuk bekerja. Sebaliknya, sang ayah, adalah sosok yang rapuh. Sebagai laki-laki,
ayah, suami dan kepala keluarga, ia tidak cukup kuat menghadapi cobaan hidup
yang disebabkan oleh keputusannya sendiri. Namun mungkin karena rasa bersalah
yang dalam pulalah ia menjadi sedemikian jatuhnya. Ini bisa kita pahami asalkan
tetap objektif dan bijaksana.
Melihat keterpurukan
keluarganya, Agnes tergugah untuk ikut andil dalam mengatasi keadaan
keluarganya. Ia merasa tidak punya keahlian seperti kakaknya, Mary, yang bisa
dikerjakan dan menghasilkan uang. Hal yang kemudian terbersit adalah
bahwa ia bisa menjadi pengasuh anak. Pada awalnya ia ditentang oleh
keluarganya. Mereka menginginkan kebersamaan di atas segalanya. Namun Agnes
bersikeras ingin pergi bekerja karena kalaupun ia di rumah, ia takkan bisa ikut
mengurangi beban utang mereka. Akhirnya, keluarganya pun mengizinkan dan atas
rekomendasi ibunya, ia dapat bekerja menjadi pengasuh anak di rumah salah satu
kerabat mereka yang kaya. Agnes bertekad melakukannya dengan baik walaupun
dengan upah yang minim.
Kehidupan yang dijalani Agnes
selama menjadi pengasuh anak di keluarga Mr. Bloomfield sangatlah menyedihkan.
Ia tidak dianggap sebagai bagian dari keluarga yang sama-sama harus dihargai
dengan diperlakukan secara layak. Ditambah lagi anak-anak mereka yang manja dan
arogan. Hal ini menunjukan adanya pendidikan keliru yang diterapkan keluarga
itu untuk anak-anak mereka. Agnes merasa bahwa perangai anak-anak ini
liar dan dibiarkan begitu saja asal demi kesenangan. Hal-hal kejam seperti
membunuh binatang pun mereka lakukan tanpa belas kasihan sama sekali.
Seringkali ketika menegur hal ini, malah Agneslah yang kena masalah dan omelan,
membuatnya terheran-heran. Hal yang bisa Agnes lakukan adalah berdiam diri
untuk tidak masuk dalam perdebatan yang dapat mengancam pekerjaannya dan
menangis di kamarnya pada malam hari. Agnes bertanya-tanya bagaimana bisa
mereka membiarkan anak-anak mereka menjadi demikian nakal dan liarnya. Ia
merasa pendidikan di keluarga yang ia dapatkan sudah sangat tepat dan
menjadikan ia dan kakaknya sebagai anak yang baik.
Jika kita telaah dari segi
pendidikan anak, ini tentu suatu gambaran tentang kekelirun yang cukup fatal.
Anne sendiri menuliskan tujuan pendidikannya seperti berikut ini.
"... bagaimana membangkitkan penyesalan
atas kesalahan, bagaimana menanamkan keberanian kepada murid pemalu dan
menghibur yang menderita, bagaimana membuat kebajikan dapat dipraktikkan,
instruksi diminati, dan agama menjadi sesuatu yang indah dan dapat
dipahami." (hlm. 20).
Di setiap renungannya, Agnes
selalu mempertanyakan kekeliruan ini dan berusaha memperbaikinya lewat
pelajaran-pelajaran yang ia berikan setiap hari. Mungkin tidak ada yang salah
jika anak-anak memang lebih menyukai permainan ketimbang belajar, baik itu
berhitung, membaca, menggambar dan bermain musik. Namun kesalahan terletak pada
bagaimana hal itu diatur dan diselenggarakan. Hal ini pulalah yang seringkali
membangkitkan rasa rindu pada keluarganya, dan bersyukur atas didikan orang
tuanya yang selalu berlandaskan pada kesederhanaan, keimanan kepada Tuhan, dan
kebijaksanaan.
Setelah akhirnya berhenti
bekerja di rumah keluarga Mr. Bloomfield, Agnes menikmati masa-masa kembalinya
ke rumah dan lingkungan sekitarnya. Namun keinginannya untuk mencoba lagi tidak
padam, malah lebih tertantang. Ia tidak kapok dan merasa menyesal. Tempat lain
selanjutnya adalah rumah keluarga Mr. Murray. Di sinilah cerita yang lebih
panjang dituturkan Agnes dengan lebih santai dan tidak semengerikan sebelumnya.
Di tempat itu pulalah Agnes jatuh cinta. Mr. Murray sendiri adalah kalangan
bangsawan di sana, dan sedikit lebih tinggi dibandingkan Mr. Bloomfield. Agnes
berpikir bahwa perbedaan tingkat ini akan berpengaruh pada perlakuan yang akan
ia dapatkan.
"Orang-orang semacam ini akan
memperlakukan pengasuhnya layaknya wanita terhormat dan terpelajar, instruktur
dan pembimbing anak-anaknya, dan bukannya pelayan dengan kedudukan lebih tinggi
semata." (hlm. )
Anak-anak yang harus ia didik
di keluarga itu sedikit lebih besar dari sebelumnya. Salah satu di antara
mereka sangat genit dan bermimpi ingin memiliki suami yang kaya dan bisa
memanjakannya. Bagi Agnes yang terbiasa dengan hidup sederhana dan pikiran yang
lebih terbuka, menilai laki-laki bukanlah dari segi harta atau tampangnya saja.
Melainkan hati yang bersih dan sikap bertanggung jawab. Salah seorang pendeta
di sana nampaknya mulai menarik perhatian Agnes. Awalnya ia merasa aneh karena
terus memikirkan laki-laki itu. Pelan-pelan, rasa itu berubah menjadi
kepedulian dan rasa sayang yang tak dapat ditahan. Harapan-harapan kecil mulai
tumbuh di hatinya dan ia menjadi lebih mengharapkan lebih banyak pertemuan.
Namun gadis bernama Rosalie itu kemudian menjadi ancaman dan penghalangan.
Jiwanya yang dirasuki kejahilan terus mengusik Agnes agar tidak bisa bertemu
dengan pria itu. Pembaca akan gereget karena berharap Agnes bisa mendapatkan
sedikit kebahagiaan lewat jatuh cinta. Anak-anak keluarga Mr. Murray mungkin
memang tidak senakal anak-anak Mr. Bloomfield, namun perkara lain ternyata
tetap saja menyulitkan.
Ketika keadaan semakin
mendesaknya, kabar buruk datang dari keluarganya tentang sang ayah. Nyawanya
tidak tertolong ketika Agnes baru sampai di rumah setelah perjalanan panjang
yang melelahkan. Kini mereka hanya tinggal bertiga. Cobaan lain datang karena
kepergian Sang Ayah. Agnes akhirnya memutuskan untuk berhenti bekerja di
keluarga Mr. Murray dan membangun sekolah sederhana dengan ibunya. Kakaknya
sendiri, Mary, sudah menikah, dan ia menjadi tak terlalu menghawatirkan ibunya
karena ada Agnes. Ketika waktu-waktu perpisahan itu tiba, Agnes merasa ada perasaan
yang mengganjal. Ia sadar bahwa ia tidak akan bisa bertemu dengan pria itu lagi
karena Agnes kemudian pindah ke daerah lain bersama Ibunya.
Waktu-waktu yang dijalani
Agnes dengan Ibunya berjalan baik dan patut disyukuri. Di sela-sela setiap
waktunya, Agnes selalu berharap bisa bertemu kembali dengan pria itu. Baginya
hanya Tuhan yang dapat melakukan itu untuknya. Setelah menjalani hidup yang
menderita untuk sekian lama, ia hanya ingin mimipinya menjadi nyata, yaitu bisa
bersama dengan pria itu. Ketika pertemuan itu akhirnya datang, Agnes hanya bisa
berucap syukur kepada Tuhan. Bahwa perjuangannya selama ini membuahkan hasil
yang sempurna dengan kehadiran cinta sejati di hidupnya. Pembaca akhirnya bisa
tersenyum lega melihat akhir kisah yang bahagia ini pada buku setebal 294
halaman ini.
Pelajaran yang bisa kita petik
sangat banyak. Bahkan bukan hanya memetik sedikit, tapi kita juga bisa sekalian
panen. Sastra klasik memang punya keunggulan akan kekhasan dan detail
penceritaan yang baik. Kadang belum apa-apa saya sudah merasa jenuh dengan
deskripsi yang terlalu bertele-tele pada awal cerita. Namun, selain dari jangan
menilai buku hanya dari sampulnya, kita juga jangan menilai cerita dari awalnya
saja. Ibarat mencicipi makanan berkuah, jangan hanya melihat tampilannya saja,
ataupun kuahnya saja. Bisa jadi ketika kemudian kita mencicipi lauknya,
kombinasi rasa yang luar biasa akan meledak di mulut kita.
Sebuah kisah tentang
kesederhanaan, ketulusan, kegigihan dan kesabaran yang luar biasa dari sosok Agnes
Grey. Meskipun saya sendiri merasa tertangkap basah karena sempat jenuh di awal
lewat kalimat ini.
"Orang yang tidak berminat dalam hal-hal
seperti ini, tidak diragukan lagi akan melewatkannya dengan pandangan sekilas
saja, dan barangkali, mengumpat kata-kata penulis yang bertele-tele. Tetapi
jika ada orang tua yang memetik petunjuk berguna dari tulisan ini, atau
pengasuh malang yang mendapatkan manfaat walau sedikit saja, aku merasa
mendapatkan imbalan setimpal untuk penderitaan yang kualami." (hlm. 55)
Yang kemudian melecut semangat saya untuk bisa
lebih menghargai karya ini dengan sukacita. Membacanya dengan tenang dan
pikiran terbuka.
Saya pun berharap Anda yang belum membaca karya
ini, bisa ikut terinspirasi dan menghargai bahkan sebelum Anda mulai
membacanya.
Selamat membaca!
Judul Novel : Agnes
Grey
Penulis : Anne
Brontë
Genre : Fiksi
Inggris
Penerbit : Penerbit
Qanita
Terbit :
Cetakan I, Desember 2016
Tebal : 294
halaman