Wednesday, January 29, 2025

Lomba Resensi - Sewindu Bincang Buku

Astrofisika untuk Orang Sibuk, Cara Neil deGrasse Tyson Ajak Kita Terus Belajar dan Melek Pemahaman Prinsip Dasar Alam Semesta

(Buku Astrofisika untuk Orang Sibuk karya Neil deGrasse Tyson - Dokumentasi Pribadi)

      Ada seorang penulis kenamaan Indonesia yang pernah membeberkan sedikit tipsnya saat akan mulai menulis. Ia mengemukakan bahwa saat akan menulis fiksi, ia justru akan membaca buku nonfiksi. Buku pengetahuan apapun yang bisa saja tidak ada sangkut pautnya dengan cerita fiksi yang akan ia kerjakan. Dari penuturannya itu, perlulah sedikit digali alasannya. Ternyata, membaca buku nonfiksi membantunya menyegarkan pikiran. Berfokus pada sesuatu yang ilmiah, dan sejenak mengesampingkan urusan sehari-hari. Meskipun beliau mengatakan bahwa itu adalah cara uniknya yang mungkin tidak berlaku bagi orang lain.

Kemudian, terbitlah sebuah buku berjudul Astrofisika untuk Orang Sibuk yang ditulis oleh Neil deGrasse Tyson. Dari judulnya saja, bolehlah kita berekspektasi bahwa isinya akan cukup sederhana, menuturkan astrofisika dengan bahasa orang awam namun setelah selesai membaca, mereka akan kenyang akan pengetahuan. Buku ini langsung mengingatkan pada alasan penulis di atas.

Pada prakatanya, Neil deGrasse Tyson mengemukakan bahwa buku ini cocok bagi pembaca yang mencari pengantar singkat dan bermakna pada bidang sains dan alam semesta. Singkatnya, membantu pembaca memahami dasar atas segala gagasan dan penemuan besar yang mendukung pemahaman modern kita atas alam semesta ini.

Tujuan mulia tersebut bisa kita pahami sebagai upaya untuk membuat manusia dewasa ini tetap melek terhadap pemahaman dasar mengenai alam semesta, sekaligus melatih kembali pemikiran logis kita. Misalnya saja pemahaman tentang bagaimana sains menjelaskan alam semesta ini tercipta dengan mempelajari aktivitas kehidupan sebuah bintang dan galaksi.

Buku Astrofisika untuk Orang Sibuk ini diterbitkan pertama kali pada tahun 2017 dengan judul asli Astrophysics for People In A Hurry, dan diterbitkan Gramedia Pustaka Utama setahun kemudian dalam Bahasa Indonesia. Berisi 12 bab penuh daging yang siap membuat pembaca mengunyah setiap kalimat demi kalimatnya, sambil meresapi dan memahami kedalaman pengetahuan yang disuguhkan sang penulis.

Meskipun begitu, pembaca bisa saja cukup dibuat sedikit pusing pada 1 atau 2 bab awal buku ini. Mengingat pembukaan atau penjelasan awalnya sangat terperinci pada sesuatu yang sulit dan bahkan abstrak untuk dibayangkan, yakni awal mula terbentuknya alam semesta melalui teori paling terkenal, Ledakang Besar (The Big Bang Theory). Saking rincinya, bersiaplah untuk tenggelam dalam imajinasi untuk membayangkan bagaimana wujud semesta pada satu detik hingga dua menit awal terciptanya

Barulah kemudian selanjutnya, pembaca akan mulai mengenal beberapa nama yang familier, misalnya seperti Sir Isaac Newton, hingga wahana antariksa legedaris Voyager 1 dan 2. Kebanyakan pengetahuan dasar astronomi dan fisika ini telah didapatkan pada bangku sekolah mulai SMP dan SMA. Namun Neil deGrasse Tyson tentu tidak akan mengulang pelajaran tersebut di buku ini, sebaliknya ia menjelaskan rincian-rincian baru yang membuat pikiran kita semakin terbuka dan tercerahkan. Mengingat kembali, memahami kembali, sampai menambahkan informasi baru, dan menumpuknya menjadi satu bentuk utuh dalam pikiran kita.

Tak lupa, sang penulis dengan segala kerendahan hatinya juga memuji para ilmuwan terdahulu atas kerja keras dan dedikasinya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan sampai bisa kita dapatkan saat ini. Misalnya saja pujian akan kekagumannya terhadap perhitungan dan prediksi para ilmuwan yang tepat sasaran,  “Dekatnya prediksi mereka dengan jawaban yang benar adalah suatu prestasi mengagumkan bagi wawasan manusia.”

Pentingnya pemahaman juga akan menuntun kita pada pemberian definisi yang tepat dan tak berbelit-belit. Misalnya saja pengertian tentang materi gelap. Materi gelap adalah benda misterius yang punya gravitasi tapi tidak berinteraksi dengan cahaya dalam cara apapun yang diketahui. Apakah objek yang dimaksud? Ya, lubang hitam (black hole). Salah satu adegan film paling memorable yang menyertakan lubang hitam ada pada film Interstellar.

Pada bab-bab selanjutnya, akan ada banyak istilah yang semakin populer bagi semua orang. Misalnya saja tentang supernova, tahun cahaya, hingga penjelasan seberapa luas dan jauhnya alam semesta tempat kita tinggal ini. Ilmuwan populer macam Albert Einstein juga tak lupa dibahas pada buku ini, tentu saja mengenai teori relativitasnya. Di mana ada massa, di situ ada gravitasi. Di mana ada gravitasi, di situ ada ruang yang melengkung. Dan di mana ada ruang melengkung, di situ bisa terbentuk sesuatu mirip lensa kaca biasa yang mengubah jalur cahaya yang melewatinya.

Saling terkait dan berkesinambungan antara satu teori dengan teori lainnya. Menjalin untaian pemahaman dasar tentang alam semesta.

Kesimpulannya, buku ini bisa disebut sebagai buku lanjutan umum dari pelajaran sains yang telah diterima di bangku sekolah. Ketebalannya yang tak sampai 200 halaman ini sudah cukup dan begitu berisi, sehingga bisa dibaca siapapun yang ingin tetap melek dan menjaga kewarasannya terhadap ilmu pengetahuan, terutama yang berkaitan dengan alam semesta. ***

Astrofisika untuk Orang Sibuk karya Neil deGrasse Tyson

Penerbit                     : Gramedia Pustaka Utama

Tahun Terbit             : Cetakan ketiga Agustus 2019

Tebal                          : 131 halaman

Alih Bahasa                : Zia Anshor

Desain Sampul           : Pete Garceau

ISBN                            : 978-602-06-1632-2

 

Monday, December 9, 2019

Pelayanan Kesehatan Digital Kesehatan Bertambah, SehatQ Tawarkan Kemudahan Baru




         
Sehatq.com

Kesehatan merupakan hal penting bagi kehidupan kita. Kesehatan juga menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan sebuah negara. Keberhasilan itu dimulai dari adanya upaya pencegahan penyakit tertentu, penanganan suatu wabah, sampai penyakit-penyakit yang perlu pengobatan panjang dan rumit. Keseriusan pemerintah dan kesadaran dari masyarakat juga hal penting yang tidak boleh dilupakan dalam masalah kesehatan.
Beberapa masalah kesehatan masih menjadi ancaman bagi masyarakat dalam beberapa tahun terakhir. Pemerintah berupaya keras untuk menanggulanginya dengan cara meningkatkan pelayanan di berbagai sektor dan menjangkau ke berbagai pelosok negeri. Apalagi ditambah dengan masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk menjaga kesehatan. Cara menjaga kesehatan yang baik bisa dengan cara seperti rutin berolahraga, mengkonsumsi buah dan sayur, serta pola hidup yang baik agar terhindar dari stres. Di samping kesehatan fisik, kesehatan mental juga tidak kalah penting. Gaya hidup zaman sekarang ini bisa mendorong masyarakat pada persaingan yang tanpa henti di berbagai bidang kehidupan, hal ini bisa beresiko menimbulkan banyak penyakit bagi tubuh.
Dilansir dari CNN Indonesia, berikut adalah infografis mengenai potret kesehatan di Indonesia pada tahun 2018 yang lalu.



Hasil Riskesdas 2018.Hasil Riskesdas 2018. (CNN Indonesia/Fajrian)


Salah satu upaya dalam meningkatkan mutu kesehatan masyarakat adalah dengan adanya kemudahan dalam akses kesehatan itu sendiri. Dimulai dari tersebarnya tempat-tempat kesehatan hingga ke berbagai pelosok agar memudahkan warga untuk berobat. Di era digital seperti sekarang ini, kemudahan bisa didapat dari alat di genggaman tangan. Ya, dengan menggunakan ponsel dan akses internet, kita sudah bisa mengakses banyak informasi dari berbagai hal di penjuru dunia. Oleh karena semakin mudahnya itu pula, hal ini dimanfaatkan dengan baik oleh platform digital kesehatan untuk membuat aplikasi yang berisi macam-macam pelayanan kesehatan bagi masyarakat.
Seperti kemudahan yang diberikan oleh SehatQ, di mana kita bisa mendapatkan fitur-fitur mulai dari konsultasi dengan dokter ahli, artikel-artikel kesehatan, booking dokter hingga pelayanan dalam mencari rumah sakit terdekat. Faktor penting lain mengenai akses kesehatan adalah karena artikel-artikel kesehatan yang kita dapatkan di mesin pencari Google tidak semua relevan dengan pertanyaan yang diajukan. Hal ini menimbulkan keresahan karena sering kali artikel yang didapat berisi ancaman penyakit yang serius. Ketika masyarakat ingin mencari solusi untuk pengobatan, yang ada malah ketakutan dan pikiran buruk karena pengaruh artikel atau keterangan yang salah. Inilah pentingnya konsultasi langsung dengan dokter. Dari yang awalnya hanya menduga-duga, kita bisa mendapatkan kepastian dari analisa dokter terkait masalah kesehatan yang kita tanyakan. Melalui SehatQ  kita bisa langsung akses pilihan menu “Tanya Dokter” lewat tautan ini http://www.sehatq.com. Atau jika sedang berada di wilayah baru/ bepergian dan mengalami masalah kesehatan, kita bisa mencari rumah sakit terdekat dengan mengakses tautan ini http://www.sehatq.com/faskes/rumah-sakit. Lewat sistem GPS, SehatQ akan mendeteksi posisi kita dan menghubungkan letak rumah sakit terdekat di daerah tersebut.
Dalam salah satu kampanyenya, badan kesehatan dunia WHO pernah memberikan tiga poin penting, yaitu kesetaraan dalam akses kesehatan, kualitas pelayanan kesehatan, serta perlindungan resiko finansial pasien. Dengan adanya kemudahan yang ditawarkan SehatQ, sekaligus membantu pemerintah melalui Kementrian Kesehatan dalam mewujudkan tiga poin dari WHO tersebut. Masyarakat bisa mengakses kebutuhan informasi kesehatan  dengan mudah dan terpercaya, karena artikel yang ditulis berdasarkan sumber-sumber hasil penelitian serta mendapat tinjauan langsung dari dokter ahli. Hal itu merupakan upaya meningkatan masyarakat yang teredukasi dalam masalah kesehatan dengan memberikan inofrmasi yang akurat agar tidak timbul pikiran negatif dan pesimis. Keterkaitan antara pikiran negatif dengan kesehatan yang sedang terganggu malah akan menimbulkan keresahan lain yang malah memperburuk keadaan. Memang tidak semua artikel seperti demikian, namun alangkah baiknya bila kita mendapatkan informasi yang tepat dari sumber yang terpercaya pula.
Mengutip pertanyaan SehatQ dalam video perkenalannya, “Butuh info kesehatan yang terpercaya?”, lalu salah satu artikel terbarunya berisi tentang musim pancaroba dan obat masuk angin apa saja yang harus kita siapkan. Artikel ini relevan dengan keadaan alam kita sekarang yang tengah bergeser dari musim kemarau panjang ke musim hujan. Peralihan musim ini tentu harus kita waspadai mengingat cuaca senatiasa cepat berubah-ubah. Kondisi tubuh yang tidak stabil bisa menimbulkan gangguan kesehatan yang mengganggu aktivitas. Info kesehatan dari artikel itu tidak hanya relevan tapi juga terpercaya dan masyarakat dapat mengaksesnya dengan mudah lewat situs atau aplikasi SehatQ.
Jadi, dengan kemudahan yang ditawarkan SehatQ di atas, SehatQ layak menjadi asisten kesehatan Anda dan keluarga.

Referensi:
Musim Pancaroba, Sudah Siapkan Obat Masuk Angin Apa Saja? https://www.sehatq.com/artikel/musim-pancaroba-sudah-siapkan-obat-masuk-angin-apa-saja


Sunday, October 27, 2019

Sepuluh Anak Negro Karya Agatha Christie (ulasan versi komik)



Dokumentasi Pribadi


Agatha Christie adalah salah satu penulis perempuan ternama di dunia. Karya-karya yang beliau tulis bergenre detektif dan misteri, seperti tentang pembunuhan. Novel Agatha Christie pertama yang saya baca adalah Murder On The Orient Express yang kala itu juga bersamaan dengan diluncurkannya film dengan judul yang sama. Karena hal itu pula, cover buku yang saya dapatkan pun merupakan poster dari filmnya.

Namun seperti judul yang tertera di atas, bukan novel itu yang hendak dibahas kali ini. Sebetulnya ada cerita lain yang sudah saya baca namun dalam versi komik dan jumlah halamannya pun sedikit. Judulnya adalah Sepuluh Anak Negro. Setelah mencari keterangan lain tentang kisah ini, saya menemukan fakta bahwa ternyata judul asli cerita ini waktu pertama kali terbit di Inggris adalah Ten Little Niggers. Sedangkan ketika terbit di Amerika Serikat, judulnya diubah menjadi And Then There Were None. Uniknya, penerbit versi komik yang saya baca ini memilih untuk menggunaan judul Sepuluh Anak Negro yang merupakan terjemahan dari Ten Little Niggers tapi juga menyematkan And Then There Were None di atasnya. Barangkali bermaksud menggabungkannya keduanya dan tidak memihak ke salah satu.

Sebelum saya ulas lebih lanjut, perlu diketahui pula bahwa saya mendapatkan buku ini pada bazar buku di gedung Landmark Braga Kota Bandung sekitar tahun 2017. Saya sendiri tertarik membelinya karena tahu akan nama besar dari Agatha Christie dan karena belum penah membaca karyanya pula. 

Kesan pertama yang saya rasakan ketika membuka buku ini adalah menyeramkan. Ya, kisah pembunuhan memang cukup membuat bulu kuduk berdiri dan membuat tak nyaman ketika sendiri. Bagaimana tidak, sepuluh orang dengan latar belakang yang berbeda-beda tiba-tiba mendapat undangan dari seseorang untuk berlibur di sebuah pulau kecil yang ternyata merupakan pengadilan bagi mereka. Segala keperluan telah disiapkan dan mereka hanya tinggal membawa pakaian dan barang lain yang sekiranya perlu. Bertemu di tempat yang sama sebelum akhirnya naik kapal menuju ke pulau itu. Nama-nama kesepuluh orang itu adalah:

1.      Lawrence Wargrave (seorang hakim)
2.      Vera Claythorne
3.      Philip Lombard (seorang Letnan)
4.      Emily Brent
5.      John Gordon McCarthur
6.      Edward George Armstrong (seorang Dokter)
7.      Anthony James Marston
8.      William Henry Blore
9.      Thomas Rogers
10.  Mary Rogers

Nama pulau yang menjadi tujuan mereka adalah Pulau Negro. Setelah sama-sama berangkat dari stasiun Paddington, mereka melakukan perjalanan laut sambil sedikit-sedikit berkenalan satu sama lain. Namun dari kesepuluh orang itu, sebenarnya tidak semuanya bersamaan berangkat. Sudah ada Thomas dan Mary Rogers di villa yang akan mereka tempati dan bertugas mempersiapkan dan melayani semuanya. Dari penuturan Thomas Rogers, ia dan istrinya Mary tiba-tiba saja mendapatkan surat dari Mr. Owen untuk pergi ke Pulau Negro dan mengurus villa. Mr. Owen memberitahukan segalanya dengan rinci sehingga Thomas yakin orang ini sungguh-sungguh, Mr. Owen sendiri dikabarkan akan terlambat tiba di pulau itu.

Ketika mereka sudah sampai di pulau tersebut, mulailah mereka berkeliling dan saling memperkenalkan diri. Kamar yang mereka tempati masing-masing terdapat sebuah lukisan atau apapun itu yang berisi tulisan tentang sepuluh anak negro. Mungkin kalimat-kalimat yang ditulis kurang tepat jika disebut tulisan biasa, tulisan itu pulalah yang akhirnya akan menentukan nasib dari kesepuluh orang itu. Isi tulisan tersebut seperti ini...

Sepuluh anak negro makan malam, seorang tersedak, tinggal sembilan.
Sembilan anak negro bergadang jauh malam, seorang ketiduran, tinggal delapan.
Delapan anak negro berkelililng Devon, seorang tak mau pulang, tinggal tujuh.
Tujuh anak negro mengapak kayu, seorang terkapak, tinggal enam.
Enam anak negro bermain sarang lebah, seorang tersengat, tinggal lima.
Lima anak negro belajar ilmu hukum, seorang jadi pengacara, tinggal empat.
Empat anak negro pergi ke laut, seorang dimakan ikan herring merah, tinggal tiga.
Tiga anak negro pergi ke kebun binatang, seorang diterkam beruang, tinggal dua.
Dua anak negro duduk berjemur, seorang hangus, tinggal satu.
Seorang anak negro menggantung diri, habislah sudah!

Bagaimana? Sebuah ide yang luar biasa menakjubkan dari sang penulis Agatha Christie. Dengan tidak adanya orang lain selain dari sepuluh orang itu, setelah dua orang pertama tewas, mereka mulai saling mencurigai. Masing-masing memiliki dugaan siapa pelaku yang berlindung di balik nama Mr. Owen. Sampai pada akhirnya mereka sadar bahwa orang bernama Mr. Owen itu tidak ada. Owen dari kata unknown alias tidak diketahui. Entah siapa, apa maksud dan tujuannya, dan bagaimana dia bekerja dan menyusun rencana untuk kesepuluh orang ini.

Seperti yang saya sebut di awal bahwa ini adalah karya Agatha Christie pertama yang saya baca, maka dengan cerita seperti ini pandangan pertama saya mengenai beliau langsung tinggi. Dalam arti bikin geleng-geleng saking takjubnya dan saya memberikan apresiasi yang tinggi pada beliau. Saya jadi tertarik untuk membaca karya beliau yang lainnya namun dengan catatan harus menyiapkan keberanian diri yang tinggi.

Intinya cerita luar biasa yang dicetak dalam bentuk komik ini sangat berkesan bagi saya. Saya tidak akan menceritakan secara rinci bagaimana proses pembunuhan dari kesepuluh orang itu dan siapa di balik semuanya kepada para pembaca di blog ini.

Semoga dengan sedikit ulasan ini bisa bermanfaat bagi pembaca dan saya senang sekali bila ada yang bersedia untuk menanggapi. Terima kasih, selamat membaca!

AGATHA CHRISTIE
And Then There Were None
Sepuluh Anak Negro
Story by                      : François Rivière
Illustration & Color   : Frank Leclercq
ISBN: 978-602-00-1887-4
Alih Bahasa                 : Bunga Chetah Anastasia
Editor                          : Maria Adisrstika
Desain Sampul           : Henrikus Ariyanto
For distribution & sale in Indonesia only
PT ELEX MEDIA KOMPUTINDO
KOMPAS GRAMEDIA BUILDING



Wednesday, October 23, 2019

Pembajakan Buku


Pembajakan Buku

Salah Satu Bukti Masih Rendahnya Tingkat Apresiasi di Indonesia

 
            Buku merupakan salah satu sumber ilmu yang sudah ada sejak dulu. Orang membaca buku ketika merasa perlu dan membutuhkan sesuatu yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, atau sekedar hobi dan mencari hiburan. Sejarah perkembangan buku erat kaitannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan manusia itu sendiri. Dari sehelai kertas berisi tulisan yang ditumpuk jadi satu, dijilid dan dihias agar terlihat lebih rapi. Pada era modern ini, buku termasuk yang mendapatkan sentuhan teknologi terbarukan dalam pembuatannya. Ada pengarang yang menuangkan idenya, ada tim dari penerbitan yang memprosesnya. Secara sederhana memang demikian. Namun proses yang sesungguhnya  memerlukan waktu, tenaga dan biaya yang tidak sedikit. Proses yang dilalui inilah yang barangkali tidak semua orang tahu dan mau tahu untuk sekedar menambah wawasan.

            Bagi para pecintanya, buku tidak hanya sebuah benda dengan puluhan hingga ratusan helai kertas yang berisi untaian kalimat yang panjang dan terstruktur. Buku lebih dari itu. Sebuah ide atau karangan yang dibuat oleh manusia akan lebih cepat lupa  jika tidak segera dituangkan dalam bentuk catatan tertulis. Bukti tertulis akan lebih lama dikenang dibandingkan dengan lisan saja. Layaknya dongeng-dongeng rakyat yang tidak diketahui siapa penciptanya (anonim), berkembang begitu saja di masyarakat dari generasi ke generasi. Hal ini berhubungan pula dengan adanya hak cipta atau penemuan. Hak cipta untuk mencegah adanya plagiarisme dan pencurian ide lainnya yang dapat merugikan pencipta. Jika dulu pada masa-masa awal banyak ditemukannya berbagai alat untuk membantu pekerjaan manusia, ada lembaga atau intansi yang mengurus tentang hak paten. Mereka mencatat apa barang temuan dan siapa yang menemukan atau menciptakannya. Pada masa selanjutnya temuan tersebut bisa saja mendapat pengembangan dan peningkatan, supaya lebih baik lagi dan sesuai dengan perkembangan zaman.

            Buku dan hak cipta adalah bagian dari karya dan senimannya. Setiap karya ada karena ada penciptanya. Buah pikiran dan kerja keras manusia yang melalui proses panjang dan tidak mudah. Seorang penulis novel fiksi misal, bisa menulis cerita hingga bertahun-tahun lamanya. Dia bisa membongkar pasang cerita agar lebih baik dan sesuai keinginan. Menyesuaikan alur dan konflik agar dapat menggugah rasa penasaran pembaca. Namun yang lebih penting dari itu, ada makna yang hendak diselipkannya. Makna yang membuat pembaca tidak hanya terhibur setelah membaca, tapi juga mendapatkan pelajaran hidup yang baru yang bisa berguna baginya. Itulah sastra.
            Namun bagaimana jika kerja keras yang panjang itu disalahgunakan orang lain? Penulis yang telah bertahun-tahun mengerjakan novelnya itu, dikhianati oleh orang-orang yang mau terhibur dan mendapat keuntungan tapi dengan cara yang menyakitkan. Penulis mana, seniman mana, atau orang biasa mana yang tidak akan sakit hati dan meringis melihat hasil kerja kerasnya tidak dihargai oleh orang lain.

            Sebelum era digital muncul, para musisi biasanya menjual album karya mereka dalam bentuk Compact Disk (CD) atau DVD, dan dijual di toko musik di banyak tempat. Namun tidak semua orang mau membeli dan menikmati musik dengan cara tersebut. Muncullah CD bajakan, yang dari segi harga melenceng jauh dari harga resmi yang dibuat oleh perusahaan. Dengan dalih lebih merakyat dan lebih mudah didapat, orang banyak yang bertahan dan percaya diri dengan praktek pembajakan musik. Kini para musisi sudah lebih menyesuaikan dengan zaman, adanya berbagai platform digital untuk musik memungkinkan mereka menjual karyanya dengan aman karena lebih sulit dibajak dibandingkan dengan zaman CD tersebut. Tapi apakah semuanya selesai? Tentu saja belum. Blog dan situs di internet masih banyak yang menyediakan tautan-tautan untuk mendapatan file mp3 untuk musisi manapun.

            Bagaimana dengan buku? Benda yang awalnya saya kira tidak akan ada bajakannya. Sampai ketika tahun ketiga kuliah, saya mulai tahu bagaimana ciri fisik buku bajakan tersebut. Kusam, tidak terawat dan harganya murah. Misalnya saja sebuah buku referensi yang sudah banyak dipakai dari dulu. Oleh si penjual, buku bajakan itu dibanderol setengah dari harga aslinya. Sekilas ini sangat menggiurkan, apalagi untuk kelas mahasiswa yang seringkali kekurangan biaya. Tapi ketika sadar, ini adalah sebuah tindak kejahatan di depan mata. Bukti nyata sebuah tempat di mana kekayaan intelektual dicuri dan diperdagangkan secara ilegal. Penulis dan penerbit terkait tidak akan mendapat keuntungan sepeser pun berapa pun harga yang ditawarkan oleh tindakan ini.

            Jika dalih banyak penjual buku bajakan adalah karena langkanya sebuah buku, lantas mengapa buku yang baru terbit pun sudah ada bajakannya? Ini sudah tidak bisa ditolerir lagi mengingat seharusnya pembeli (apalagi kalangan akademis) sadar bahwa itu sudah lebih dari batas. Buku baru akan jauh lebih mudah didapat di toko-toko buku resmi, tidak usah tergiur mencari ke lapak-lapak buku bajakan. Jika hal ini benar-benar tidak dihiraukan, maka inti permasalahan ada pada diri para pelaku.

            Dengan adanya tindakan pembajakan, tanpa ada rasa bersalah dan mau berhenti, menunjukan adanya rasa menghargai atau apreasiasi yang sangat rendah. Sadar itu salah tapi tidak mau mengakui. Kesadaran ini penting sekali karena menjadi dasar penghargaan terhadap karya apapun. Para pelaku pembajakan tidak peduli dengan nasib penulis dan penerbit, karena yang mereka lakukan adalah memotong jalur perdagangan buku dengan memunculkan buku bajakan, dengan harga murah agar menggaet pembeli. Siapa yang tidak suka belanja murah? Namun dengan tergiurnya orang-orang tertentu pada produk bajakan tersebut, secara tidak sadar juga menunjukan seberapa murah dan rendahnya kesadaran terhadap mengapresiasi sebuah hasil karya.

            Masalah apresiasi tidak melulu harus identik dengan orang-orang dari kalangan akademis atau kalangan tertentu, namun seharusnya ada pada nurani setiap manusia. Itu adalah salah satu dasar kehidupan kita dalam menyikapi atau ingin menilai sebuah hasil karya manusia lainnya. Dengan tidak adanya kepedulian akan kerja keras orang lain, maka tidak ada pula rasa empati untuk menilai lebih jauh. Mereka acuh asal kantong tebal, perut kenyang dan hati senang.

            Hukum dan undang-undang tentang pembajakan sudah ada, tinggal bagaimana menciptakan kesadaran moral akan pentingnya apresiasi akan karya. Jika dasar kesadaran moral sudah ada, maka tidak akan ada celah untuk kejahatan intelektual lainnya. Ironisnya adalah pembajakan buku tersebut termasuk buku-buku sumber ilmu pengetahuan. Bagaimana bisa seseorang merasa nyaman belajar dengan menggunakan sumber buku bajakan. Apakah ilmunya akan barokah? Apakah tidak ada ketakutan jika setelah sungguh-sungguh menimba ilmu, namun kelak mizan di akhiratnya akan terpengaruh karena pernah menggunakan sesuatu dari tindak kejahatan?

            Upaya yang dilakukan oleh berbagai penerbit besar di Indonesia misalnya saja Mizan, adalah dengan menerbitkan buku digital. Pembaca dapat membelinya dan membaca e-book tersebut di perangkat smartphone atau lainnya. Ini menjadi varian terbaru juga dalam membaca buku. Lebih praktis dan mudah dibawa ke mana-mana serta bisa menampung berbagai judul hanya dalam satu perangkat ponsel saja. Hal ini tentu saja menjadi sebuah kemajuan dan upaya yang baik untuk mengurangi tindakan pembajakan.

Namun sebanyak apapun upaya berbagai pihak melawan pembajakan, akan sia-sia saja jika masih ada pembeli yang mencari buku bajakan. Selalu ada saja oknum-oknum perusak yang mencari celah sekecil apapun untuk memanfaatkan keadaan. Karena inti dari permasalahan terhadap hak cipta adalah kesadaran mengapresiasi karya itu sendiri. Bagaimana dokter bisa menyembuhkan pasien jika pasien itu sendiri tidak mau berobat? Sekali lagi harus ada kesadaran akan apreasiasi, menghargai dan menghormati karya orang lain.

Jadi pembaca tinggal memilih, apakah mau menjadi pembaca yang baik yang mengapreasiasi penulis dengan cara membeli karya yang asli, atau menjadi pembaca yang mencari buku bajakan dengan harga murah? Ingatlah ada harga ada kualitas. Ingatlah untuk menghargai kerja keras orang lain, dan ingatlah bagaimana jika kita yang mengalami hal tersebut.

Tuesday, April 2, 2019

Agnes Grey karya Anne Brontë


Agnes Grey karya Anne Brontë
Realita Sederhana Inggris Abad ke-18


Dari sekian banyak karya sastra Inggris yang pernah saya baca, sejauh ini meninggalkan kesan yang sama yakni budaya mereka. Saya mengawali membaca sastra Inggris  dengan Sherlock Holmes karya Sir Arthur Conan Doyle yang sangat lekat dengan zaman Ratu Victoria (di dalam salah satu ceritanya pun ada yang secara langsung menyebutkan Victoria Rennaisance). Gaya hidup mereka seperti minum teh, lalu penggambaran kota London, serta perubahan cuaca dan kesenangan sebagian kaum bangsawan. Hal ini pulalah yang akhirnya saya rasakan kembali ketika membaca Agnes Grey.

Setelah beberapa waktu dari terakhir kali saya membaca karya sastra Inggris, ini adalah buku selanjutnya yang kembali mengingatkan saya akan tanah Britania Raya yang selalu diidam-idamkan untuk bisa dikunjungi. Bukan menunda-nunda untuk membaca, tetapi saya baru memiliki bukunya sekarang, yang saya beli setelah nitip sama Editornya, Teh Dyah Agustine (terima kasih sekali!).

Seperti yang sering saya baca pada buku-buku teori sastra, bahwa mungkin pengalaman membaca suatu karya sastra dari berbagai negara, tidak akan sepenuhnya mewakili kita untuk merasa pernah berkunjung ke sana. Ya, tentu saja. Karena imajinasi kitalah yang berkelana di saat raga kita duduk dengan punggung melengkung sambil ditemani hangatnya kopi dan kudapan sederhana. Namun bagi saya, membaca selalu memberikan kepuasan dari suatu hal yang mungkin masih di luar jangkauan saya saat itu. Karena setidaknya, dengan kita membaca suatu buku yang menggambarkan dengan jelas keadaan geografis di dalamnya, kita ikut merasakan bagaimana suasananya. Sengatan sinar matahari atau kedinginan yang menusuk pada musim salju. Semua tergantung pada daya imajinasi dan seberapa dalam kita menyelami isi cerita.

Agnes Grey adalah cara Anne Brontë mewakilkan perasaan dan pemikirannya dari pengalaman yang telah ia dapatkan. Anne adalah bungsu dan begitu pun juga Agnes. Kesamaan ini membuat kita merasa bahwa ini benar-benar berdasarkan pengalaman hidup sang penulis sendiri. Mungkin sebagian penulis juga demikian. Mengawali karyanya dengan pengalaman hidupnya sendiri. Anne dengan sangat piawai, sabar dan tekun, mengawali ceritanya dengan tidak muluk-muluk dan basa-basi tidak penting untuk menuturkan kehidupan awal keluarga Agnes. Berlatar keluarga yang dipimpin oleh seorang Pendeta dan istri yang rela hidup sederhana asal dengan cinta sejatinya. Rela meninggalkan kekayaan ayahnya yang melimpah karena uang bukan segalanya. Dari awal penceritaan ini, pembaca sudah disuguhkan oleh prinsip ketetapan hati yang berani dan tangguh. Hal ini pulalah yang menurut saya menginspirasi sosok Agnes untuk kemudian berani mengambil keputusan berani untuk bekerja. Sebaliknya, sang ayah, adalah sosok yang rapuh. Sebagai laki-laki, ayah, suami dan kepala keluarga, ia tidak cukup kuat menghadapi cobaan hidup yang disebabkan oleh keputusannya sendiri. Namun mungkin karena rasa bersalah yang dalam pulalah ia menjadi sedemikian jatuhnya. Ini bisa kita pahami asalkan tetap objektif dan bijaksana.

Melihat keterpurukan keluarganya, Agnes tergugah untuk ikut andil dalam mengatasi keadaan keluarganya. Ia merasa tidak punya keahlian seperti kakaknya, Mary, yang bisa dikerjakan dan menghasilkan uang. Hal yang kemudian terbersit adalah bahwa  ia bisa menjadi pengasuh anak. Pada awalnya ia ditentang oleh keluarganya. Mereka menginginkan kebersamaan di atas segalanya. Namun Agnes bersikeras ingin pergi bekerja karena kalaupun ia di rumah, ia takkan bisa ikut mengurangi beban utang mereka. Akhirnya, keluarganya pun mengizinkan dan atas rekomendasi ibunya, ia dapat bekerja menjadi pengasuh anak di rumah salah satu kerabat mereka yang kaya. Agnes bertekad melakukannya dengan baik walaupun dengan upah yang minim.

Kehidupan yang dijalani Agnes selama menjadi pengasuh anak di keluarga Mr. Bloomfield sangatlah menyedihkan. Ia tidak dianggap sebagai bagian dari keluarga yang sama-sama harus dihargai dengan diperlakukan secara layak. Ditambah lagi anak-anak mereka yang manja dan arogan. Hal ini menunjukan adanya pendidikan keliru yang diterapkan keluarga itu untuk anak-anak mereka. Agnes merasa bahwa perangai anak-anak ini  liar dan dibiarkan begitu saja asal demi kesenangan. Hal-hal kejam seperti membunuh binatang pun mereka lakukan tanpa belas kasihan sama sekali. Seringkali ketika menegur hal ini, malah Agneslah yang kena masalah dan omelan, membuatnya terheran-heran. Hal yang bisa Agnes lakukan adalah berdiam diri untuk tidak masuk dalam perdebatan yang dapat mengancam pekerjaannya dan menangis di kamarnya pada malam hari. Agnes bertanya-tanya bagaimana bisa mereka membiarkan anak-anak mereka menjadi demikian nakal dan liarnya. Ia merasa pendidikan di keluarga yang ia dapatkan sudah sangat tepat dan menjadikan ia dan kakaknya sebagai anak yang baik. 

Jika kita telaah dari segi pendidikan anak, ini tentu suatu gambaran tentang kekelirun yang cukup fatal. Anne sendiri menuliskan tujuan pendidikannya seperti berikut ini.
"... bagaimana membangkitkan penyesalan atas kesalahan, bagaimana menanamkan keberanian kepada murid pemalu dan menghibur yang menderita, bagaimana membuat kebajikan dapat dipraktikkan, instruksi diminati, dan agama menjadi sesuatu yang indah dan dapat dipahami." (hlm. 20).
Di setiap renungannya, Agnes selalu mempertanyakan kekeliruan ini dan berusaha memperbaikinya lewat pelajaran-pelajaran yang ia berikan setiap hari. Mungkin tidak ada yang salah jika anak-anak memang lebih menyukai permainan ketimbang belajar, baik itu berhitung, membaca, menggambar dan bermain musik. Namun kesalahan terletak pada bagaimana hal itu diatur dan diselenggarakan. Hal ini pulalah yang seringkali membangkitkan rasa rindu pada keluarganya, dan bersyukur atas didikan orang tuanya yang selalu berlandaskan pada kesederhanaan, keimanan kepada Tuhan, dan kebijaksanaan.

Setelah akhirnya berhenti bekerja di rumah keluarga Mr. Bloomfield, Agnes menikmati masa-masa kembalinya ke rumah dan lingkungan sekitarnya. Namun keinginannya untuk mencoba lagi tidak padam, malah lebih tertantang. Ia tidak kapok dan merasa menyesal. Tempat lain selanjutnya adalah rumah keluarga Mr. Murray. Di sinilah cerita yang lebih panjang dituturkan Agnes dengan lebih santai dan tidak semengerikan sebelumnya. Di tempat itu pulalah Agnes jatuh cinta. Mr. Murray sendiri adalah kalangan bangsawan di sana, dan sedikit lebih tinggi dibandingkan Mr. Bloomfield. Agnes berpikir bahwa perbedaan tingkat ini akan berpengaruh pada perlakuan yang akan ia dapatkan. 
"Orang-orang semacam ini akan memperlakukan pengasuhnya layaknya wanita terhormat dan terpelajar, instruktur dan pembimbing anak-anaknya, dan bukannya pelayan dengan kedudukan lebih tinggi semata." (hlm. )

Anak-anak yang harus ia didik di keluarga itu sedikit lebih besar dari sebelumnya. Salah satu di antara mereka sangat genit dan bermimpi ingin memiliki suami yang kaya dan bisa memanjakannya. Bagi Agnes yang terbiasa dengan hidup sederhana dan pikiran yang lebih terbuka, menilai laki-laki bukanlah dari segi harta atau tampangnya saja. Melainkan hati yang bersih dan sikap bertanggung jawab. Salah seorang pendeta di sana nampaknya mulai menarik perhatian Agnes. Awalnya ia merasa aneh karena terus memikirkan laki-laki itu. Pelan-pelan, rasa itu berubah menjadi kepedulian dan rasa sayang yang tak dapat ditahan. Harapan-harapan kecil mulai tumbuh di hatinya dan ia menjadi lebih mengharapkan lebih banyak pertemuan. Namun gadis bernama Rosalie itu kemudian menjadi ancaman dan penghalangan. Jiwanya yang dirasuki kejahilan terus mengusik Agnes agar tidak bisa bertemu dengan pria itu. Pembaca akan gereget karena berharap Agnes bisa mendapatkan sedikit kebahagiaan lewat jatuh cinta. Anak-anak keluarga Mr. Murray mungkin memang tidak senakal anak-anak Mr. Bloomfield, namun perkara lain ternyata tetap saja menyulitkan. 

Ketika keadaan semakin mendesaknya, kabar buruk datang dari keluarganya tentang sang ayah. Nyawanya tidak tertolong ketika Agnes baru sampai di rumah setelah perjalanan panjang yang melelahkan. Kini mereka hanya tinggal bertiga. Cobaan lain datang karena kepergian Sang Ayah. Agnes akhirnya memutuskan untuk berhenti bekerja di keluarga Mr. Murray dan membangun sekolah sederhana dengan ibunya. Kakaknya sendiri, Mary, sudah menikah, dan ia menjadi tak terlalu menghawatirkan ibunya karena ada Agnes. Ketika waktu-waktu perpisahan itu tiba, Agnes merasa ada perasaan yang mengganjal. Ia sadar bahwa ia tidak akan bisa bertemu dengan pria itu lagi karena Agnes kemudian pindah ke daerah lain bersama Ibunya.

Waktu-waktu yang dijalani Agnes dengan Ibunya berjalan baik dan patut disyukuri. Di sela-sela setiap waktunya, Agnes selalu berharap bisa bertemu kembali dengan pria itu. Baginya hanya Tuhan yang dapat melakukan itu untuknya. Setelah menjalani hidup yang menderita untuk sekian lama, ia hanya ingin mimipinya menjadi nyata, yaitu bisa bersama dengan pria itu. Ketika pertemuan itu akhirnya datang, Agnes hanya bisa berucap syukur kepada Tuhan. Bahwa perjuangannya selama ini membuahkan hasil yang sempurna dengan kehadiran cinta sejati di hidupnya. Pembaca akhirnya bisa tersenyum lega melihat akhir kisah yang bahagia ini pada buku setebal 294 halaman ini. 

Pelajaran yang bisa kita petik sangat banyak. Bahkan bukan hanya memetik sedikit, tapi kita juga bisa sekalian panen. Sastra klasik memang punya keunggulan akan kekhasan dan detail penceritaan yang baik. Kadang belum apa-apa saya sudah merasa jenuh dengan deskripsi yang terlalu bertele-tele pada awal cerita. Namun, selain dari jangan menilai buku hanya dari sampulnya, kita juga jangan menilai cerita dari awalnya saja. Ibarat mencicipi makanan berkuah, jangan hanya melihat tampilannya saja, ataupun kuahnya saja. Bisa jadi ketika kemudian kita mencicipi lauknya, kombinasi rasa yang luar biasa akan meledak di mulut kita. 

Sebuah kisah tentang kesederhanaan, ketulusan, kegigihan dan kesabaran yang luar biasa dari sosok Agnes Grey. Meskipun saya sendiri merasa tertangkap basah karena sempat jenuh di awal lewat kalimat ini.
"Orang yang tidak berminat dalam hal-hal seperti ini, tidak diragukan lagi akan melewatkannya dengan pandangan sekilas saja, dan barangkali, mengumpat kata-kata penulis yang bertele-tele. Tetapi jika ada orang tua yang memetik petunjuk berguna dari tulisan ini, atau pengasuh malang yang mendapatkan manfaat walau sedikit saja, aku merasa mendapatkan imbalan setimpal untuk penderitaan yang kualami." (hlm. 55)
Yang kemudian melecut semangat saya untuk bisa lebih menghargai karya ini dengan sukacita. Membacanya dengan tenang dan pikiran terbuka.

Saya pun berharap Anda yang belum membaca karya ini, bisa ikut terinspirasi dan menghargai bahkan sebelum Anda mulai membacanya.

Selamat membaca!
Judul Novel                 : Agnes Grey
Penulis                         : Anne Brontë
Genre                           : Fiksi Inggris
Penerbit                       : Penerbit Qanita
Terbit                           : Cetakan I, Desember 2016
Tebal                            : 294 halaman